SEEKOR KUCING DITEMBAK, SEEKOR KUCING DISUNTIK
Ketika seekor kucing memakan burung, pemilik burung menembak kucing itu hari Kamis 1 April 2010. Aku mendengar kabarnya Sabtu malam 3 April 2010. Kucing itu masih dapat berjalan, tapi sudah tidak mau makan. Punggungnya membengkak dan peluru senapan angin itu mungkin masih bersarang di sana. Seandainya dalam waktu 1-2 hari ini tidak ada perawatan intensif, sangat kecil kemungkinan kucing ini akan selamat.
Kusampaikan kepada si pemberi kabar di Malang, agar menjaga asupan makanan untuk kucing itu dengan cara apapun. Kalau tidak mau makanan keras, beri makanan cair dengan pipet. Beri multivitamin anak-anak untuk menambah nafsu makannya. Rawat lukanya dengan betadine. Beri antibiotik oral Tetrasiklin satu tablet dihaluskan, diberi air sedikit. Satu tablet itu kira-kira untuk 2 hari dengan dosis 3 X sehari. Bawa ke dokter hewan untuk mengambil peluru yang tertanam. Bisa ke dokter umum. Bisa ke siapa saja yang pernah mempelajari pembedahan. Kalau tidak ada yang bersedia menolong, cobalah sendiri dengan hati-hati dan hygene. Dengan kepedulian, kesungguhan, ketelatenan, insya Allah kucing itu akan dimudahkan untuk sembuh.
Senin 6 April 2010, kucing itu mulai pulih meskipun pelurunya belum dikeluarkan. Sudah mau makan dan bisa lari-lari lagi. Dokter umum menolak mengambil pelurunya. Dokter hewan masih belum di rumahnya. Minggu 11 April 2010, kucing itu tinggal menyembuhkan lukanya.
Bahkan kalaupun burung itu harganya 1 milyar rupiah, aku merasa kucing itu tidak pantas ditembak. Amatilah bahwa adalah nalurinya untuk menangkap semua yang terbang, yang bisa dijangkaunya. Ketika umurnya belum setahun dan mulai belajar berburu sendiri, belalang dan segala yang terbang dekat adalah minatnya. Besar sedikit, dia mulai melihat dan mengamati ke atas pohon. Mulai mengintai burung-burung yang entah jatuh dari sangkarnya, atau sakit, atau terbang terlalu rendah. Menangkap kemudian memakannya. Begitulah tabiat kucing.
Begitulah cara kucing menjadi seekor kucing. Suatu kali, Abraham Maslow, pencetus teori bahwa manusia yang tertinggi itu adalah yang karena merasa lebih kemudian memberi dan manusia rendah adalah yang karena merasa kurang kemudian mengambil, mengatakan sangat mudah bagi seekor kucing untuk menjadi kucing…tapi betapa sulit bagi manusia untuk menjadi manusia.
Dan ketika seorang manusia menembak seekor kucing yang ingin menjadi kucing sejati, aku kira dialah yang pantas ditembak. Dia tidak akan menjadi manusia yang sejati dengan menembak kucing itu.
Beberapa bulan yang lalu, seekor kucing jantanku (kira-kira 10 bulan umurnya), yang mulai suka berkeliaran, tidak muncul-muncul selama 3 hari. Kemudian kutemukan Si Gendut ini terkapar tak berdaya di tepi selokan. Kubawa ke rumah. Bulunya pucat. Badannya kering. Matanya sayu. Tidak mau makan. ..dan hanya bersembunyi di bawah tempat tidur atau mencoba lari keluar dari rumah. Menurut seorang dokter hewan di Kraksaan Probolinggo, Jawa Timur, yang kutelpon dengan panik, kucing itu keracunan. Mungkin makan tikus, katanya.
Kuinvestigasilah rumah tetangga. Ada halaman yang rumputnya kering disemprot herbisida. Ya Allah, kucing ini memakan rumput beracun! Dokter hewan itu kemudian mengirimkan sms obat apa yang harus kucari. Katanya, kucing itu harus diinjeksi Atropin 5 cc, dstnya…
Aku berkeliling Kota Padang untuk mencari Atropin. Tidak ada yang mau menjual tanpa resep dokter. Jalan terakhir adalah mencari ke RSU M. Djamil Padang yang hancur karena gempa. Kudatangi rumah direktur utama rumah sakit, mencari siapa saja di situ untuk meminta back-up. (Semua keluarga beliau aku kenal karena menjadi relawan di situ ketika gempa 30 September 2009). Anaknya menganjurkanku mencari di apotik pasien rawat inap. Apotekernya curiga. Aku jelaskan kasusku, dengan kalimat terakhir, “Bu, kucing saya keracunan, kata dokter hewan, itulah obatnya.” Dua apoteker itu berdiskusi sebentar. Yang senior mengiyakan bahwa atropin itu obat pemulih syaraf, bisa untuk keracunan. Kubelilah satu ampul, satu injektor. Alhamdulillah aku tidak perlu membawa anak direktur mereka ke situ.
Di rumah, sebelum menyuntik, aku masih berkonsultasi ke Kraksaan bagaimana cara membuka ampulnya, bagian mana yang disuntik, seberapa dalam jarum dimasukkan, apakah ada antisipasi kalau terjadi sesuatu yang tidak terduga? Kemudian sambil berkaca-kaca karena takut salah, kusuntik Si Gendut. Dia mengerang sebentar, tapi kemudian semuanya berjalan baik.
Beberapa hari kemudian, si Gendut sudah berlari mengejarku dari mana saja dia bisa mendengar aku meneriakkan dengan suara tinggi: Ciiiiiing!
Sekarang si Gendut sudah jarang pulang ke rumah. Jarang sekali. Sesekali dia masih datang waktu jam makan bersama kucing-kucing yang lain. Tapi tidak pernah masuk rumah lagi. Bahkan kupegang pun sudah menggeram. Tapi begitulah mungkin cara si Gendut menjadi kucing jantan sejati. Aku menerima takdirnya. Aku tahu bahwa saudara kandungnya yang lain yang jantan juga, sudah mengusirnya dari rumah setiap kali datang. Aku hanya berusaha agar setiap kali dia menghilang dari halaman rumah, dia bisa pergi dengan kenyang. Kucing-kucing ini bukan milikku. Kami hanya berpapasan dalam waktu yang lama. Bukan aku yang melepas mereka pergi, mungkin merekalah yang melepaskanku, supaya aku bisa
belajar sedikit apa arti ikhlas sebenarnya.
Menyuntik kucing adalah pengalaman terjauhku berusaha menjadi manusia sejati di depan seekor kucing. Menggendongnya dari pinggir selokan. Mencari tau penyebab sakitnya. Menelepon seorang dokter yang jaraknya 2500 km dari tempatku tinggal. Mencari obatnya di hari Minggu. Semuanya adalah usahaku menjadi manusia sejati di depan seekor binatang yang sekarat.
Hidupku sudah sangat indah bila ketika aku sulit menjadi manusia di depan manusia lain, aku bisa menjadi manusia di depan binatang-binatang dan pohon-pohon. Bisa menjadi manusia ketika menjunjung langit dan memijak bumi. Bisa menjadi manusia di depan Tuhan. That’s all and all’s that.
Oleh : Nash Azfa Manik
Ketika seekor kucing memakan burung, pemilik burung menembak kucing itu hari Kamis 1 April 2010. Aku mendengar kabarnya Sabtu malam 3 April 2010. Kucing itu masih dapat berjalan, tapi sudah tidak mau makan. Punggungnya membengkak dan peluru senapan angin itu mungkin masih bersarang di sana. Seandainya dalam waktu 1-2 hari ini tidak ada perawatan intensif, sangat kecil kemungkinan kucing ini akan selamat.
Kusampaikan kepada si pemberi kabar di Malang, agar menjaga asupan makanan untuk kucing itu dengan cara apapun. Kalau tidak mau makanan keras, beri makanan cair dengan pipet. Beri multivitamin anak-anak untuk menambah nafsu makannya. Rawat lukanya dengan betadine. Beri antibiotik oral Tetrasiklin satu tablet dihaluskan, diberi air sedikit. Satu tablet itu kira-kira untuk 2 hari dengan dosis 3 X sehari. Bawa ke dokter hewan untuk mengambil peluru yang tertanam. Bisa ke dokter umum. Bisa ke siapa saja yang pernah mempelajari pembedahan. Kalau tidak ada yang bersedia menolong, cobalah sendiri dengan hati-hati dan hygene. Dengan kepedulian, kesungguhan, ketelatenan, insya Allah kucing itu akan dimudahkan untuk sembuh.
Senin 6 April 2010, kucing itu mulai pulih meskipun pelurunya belum dikeluarkan. Sudah mau makan dan bisa lari-lari lagi. Dokter umum menolak mengambil pelurunya. Dokter hewan masih belum di rumahnya. Minggu 11 April 2010, kucing itu tinggal menyembuhkan lukanya.
Bahkan kalaupun burung itu harganya 1 milyar rupiah, aku merasa kucing itu tidak pantas ditembak. Amatilah bahwa adalah nalurinya untuk menangkap semua yang terbang, yang bisa dijangkaunya. Ketika umurnya belum setahun dan mulai belajar berburu sendiri, belalang dan segala yang terbang dekat adalah minatnya. Besar sedikit, dia mulai melihat dan mengamati ke atas pohon. Mulai mengintai burung-burung yang entah jatuh dari sangkarnya, atau sakit, atau terbang terlalu rendah. Menangkap kemudian memakannya. Begitulah tabiat kucing.
Begitulah cara kucing menjadi seekor kucing. Suatu kali, Abraham Maslow, pencetus teori bahwa manusia yang tertinggi itu adalah yang karena merasa lebih kemudian memberi dan manusia rendah adalah yang karena merasa kurang kemudian mengambil, mengatakan sangat mudah bagi seekor kucing untuk menjadi kucing…tapi betapa sulit bagi manusia untuk menjadi manusia.
Dan ketika seorang manusia menembak seekor kucing yang ingin menjadi kucing sejati, aku kira dialah yang pantas ditembak. Dia tidak akan menjadi manusia yang sejati dengan menembak kucing itu.
Beberapa bulan yang lalu, seekor kucing jantanku (kira-kira 10 bulan umurnya), yang mulai suka berkeliaran, tidak muncul-muncul selama 3 hari. Kemudian kutemukan Si Gendut ini terkapar tak berdaya di tepi selokan. Kubawa ke rumah. Bulunya pucat. Badannya kering. Matanya sayu. Tidak mau makan. ..dan hanya bersembunyi di bawah tempat tidur atau mencoba lari keluar dari rumah. Menurut seorang dokter hewan di Kraksaan Probolinggo, Jawa Timur, yang kutelpon dengan panik, kucing itu keracunan. Mungkin makan tikus, katanya.
Kuinvestigasilah rumah tetangga. Ada halaman yang rumputnya kering disemprot herbisida. Ya Allah, kucing ini memakan rumput beracun! Dokter hewan itu kemudian mengirimkan sms obat apa yang harus kucari. Katanya, kucing itu harus diinjeksi Atropin 5 cc, dstnya…
Aku berkeliling Kota Padang untuk mencari Atropin. Tidak ada yang mau menjual tanpa resep dokter. Jalan terakhir adalah mencari ke RSU M. Djamil Padang yang hancur karena gempa. Kudatangi rumah direktur utama rumah sakit, mencari siapa saja di situ untuk meminta back-up. (Semua keluarga beliau aku kenal karena menjadi relawan di situ ketika gempa 30 September 2009). Anaknya menganjurkanku mencari di apotik pasien rawat inap. Apotekernya curiga. Aku jelaskan kasusku, dengan kalimat terakhir, “Bu, kucing saya keracunan, kata dokter hewan, itulah obatnya.” Dua apoteker itu berdiskusi sebentar. Yang senior mengiyakan bahwa atropin itu obat pemulih syaraf, bisa untuk keracunan. Kubelilah satu ampul, satu injektor. Alhamdulillah aku tidak perlu membawa anak direktur mereka ke situ.
Di rumah, sebelum menyuntik, aku masih berkonsultasi ke Kraksaan bagaimana cara membuka ampulnya, bagian mana yang disuntik, seberapa dalam jarum dimasukkan, apakah ada antisipasi kalau terjadi sesuatu yang tidak terduga? Kemudian sambil berkaca-kaca karena takut salah, kusuntik Si Gendut. Dia mengerang sebentar, tapi kemudian semuanya berjalan baik.
Beberapa hari kemudian, si Gendut sudah berlari mengejarku dari mana saja dia bisa mendengar aku meneriakkan dengan suara tinggi: Ciiiiiing!
Sekarang si Gendut sudah jarang pulang ke rumah. Jarang sekali. Sesekali dia masih datang waktu jam makan bersama kucing-kucing yang lain. Tapi tidak pernah masuk rumah lagi. Bahkan kupegang pun sudah menggeram. Tapi begitulah mungkin cara si Gendut menjadi kucing jantan sejati. Aku menerima takdirnya. Aku tahu bahwa saudara kandungnya yang lain yang jantan juga, sudah mengusirnya dari rumah setiap kali datang. Aku hanya berusaha agar setiap kali dia menghilang dari halaman rumah, dia bisa pergi dengan kenyang. Kucing-kucing ini bukan milikku. Kami hanya berpapasan dalam waktu yang lama. Bukan aku yang melepas mereka pergi, mungkin merekalah yang melepaskanku, supaya aku bisa
belajar sedikit apa arti ikhlas sebenarnya.
Menyuntik kucing adalah pengalaman terjauhku berusaha menjadi manusia sejati di depan seekor kucing. Menggendongnya dari pinggir selokan. Mencari tau penyebab sakitnya. Menelepon seorang dokter yang jaraknya 2500 km dari tempatku tinggal. Mencari obatnya di hari Minggu. Semuanya adalah usahaku menjadi manusia sejati di depan seekor binatang yang sekarat.
Hidupku sudah sangat indah bila ketika aku sulit menjadi manusia di depan manusia lain, aku bisa menjadi manusia di depan binatang-binatang dan pohon-pohon. Bisa menjadi manusia ketika menjunjung langit dan memijak bumi. Bisa menjadi manusia di depan Tuhan. That’s all and all’s that.
Oleh : Nash Azfa Manik
0 comments:
Posting Komentar