SEKARANG tudingan kiri dianggap buruk, musuh negara dan bangsa. Tetapi aneh, predikat kanan disukai juga, apalagi ekstrem kanan. Sebutan tengah jarang dipakai tetapi kadang-kadang ada pula yang berkata: "Awas ekstrem tengah." Lucu dalarn logika, tetapi di Indonesia tidak aneh. Misalnya perintah lalu-lintas: "Ke kiri boleh terus" atau " yang naik sepeda harus turun." Rupa-rupanya arti dan isi kata tidak begitu penting, Yang penting: tahu sendiri apa yang saya sukai dan tidak.
Kata sifat ekstrem kiri kurang-lebih sama dengan pembunuh, perampok, dan segala yang dari neraka. Ekstrem kanan kira-kira sama juga artinya. Bedanya: ekstrem kiri itu ateis, sedangkan ekstrem kanan 200 persen anti ateis, sehingga anti x anti-ateis = ateis = iblis juga. Ekstrem tengah artinya bukanlah bukan ekstrem kiri dan bukan juga ekstrem kanan, itu netral istilahnya. Tetapi: ya ekstrem kiri ya ekstrem kanan, sehingga tidak mungkin. Alias dilarang.
Para kaum terpelajar (yakni para pembaca artikel ini) diharapkan tidak usah geleng - geleng kepala atau bingung bila mendengar istilah-istilah kiri, kanan, tengah, karena bahasa itu memang hidup dinamis. Menurut sang filsuf yang tergolong paling cerdas di abad ke-20, yakni Ludwig Wittgenstein: Dalam berkomunikasi dengan bahasa, kata-kata tidak pernah punya arti baku apalagi kaku. Misalnya jika seorang psikiater berkata: chauvinistic pig Si Anu sadis. Dan seorang anak SD kelas 3 jengkel menangis: Ibu guru saya sadis. Maka kata sadis dalam dua pemakaian itu jelas tidak sama artinya. Demikian juga jika seorang jenderal menuding : komunisme! Dan seorang profesor sosiologi atau filsafat sosial sedang berkuliah tentang komunisme, maka dua kata atau filsafat sosial sedang berkuliah tentang komunisme, maka dua kata yang sama bunyinya itu tidak sama artinya. Wittgenstein si cendekiawan dari Wiena yang akhirnya mengajar di Inggris tadi menerangkannya begini:
Peringatan Ludwig Wittgenstein
Manusia dan komunitas manusia selalu berbahasa dalam suatu Sprachspiel,(Sprache=bahasa, Spiel=permainan) permainan bahasa (SS-PB) tertentu. Semua kata mendapat artinya di dalarn pemakaiannya. Ibaratnya: bola tenis di lapangan tenis Yayuk Basuki punya fungsi serta arti lain dari bola tenis yang di halaman desa hiruk pikuk ditendang-tendang oleh 17 anak yang bermain sepak bola. Bola dalam permainan bola sepak dalarn arti soccer (yakni bola sepak yang populer di Indonesia) yang oper-operan elegan, tidak boleh disentuh tangan. Bertolak-belakang dengan permainan yang namanya football (di Indonesia belum ada) yang justru diperebutkan dengan tangan dalarn gulung-gemulung keroyokan kasar.
Bunyi padu dalam bahasa Jawa artinya bertengkar mulut. Dalam bahasa Indonesia justru positif: bersatu-padu rukun banget. Sudah ribuan tahun, demikian peringatan si Wittgenstein yang cerdas itu, manusia saling bertengkar dan pbrperang tentang katakata (bukan realitas) dalam 1001 sengketa teori filsafat dan politik, tanpa sadar bahwa ada Sprachspiel atau Permainan Kata yang amat berperan dan harus amat diperhatikan.
Seorang warga desa dalam rapat kelurahan berapi-api mendesak: "Pak Lurah harap mengabulkan ambisi kami, membangun WC umum." Yang dimaksud ambisi: usulan. Gadis pabrik pun sudah berkata: "Nik, jangan mau dilamar dia, paradigmanya lain. Petani Gunung Kidul: "Ah Romo, jangan percaya. ltu kan cuma analisis." Yang dimaksud isyu tanpa dasar. Last not least, setiap orang tahu perbedaan arti berdamai di setopan merah kuning hijau dan dalarn perundingan Fidel Ramos - Nur Misuari. Oleh karena itu kata-kata komunis, kiri, kanan, tengah, pembangunan, persatuan, demokrasi, subversif, sosialis, kapitalis, marxis, bahkan Pancasila, UUD 45 dst. harus sungguh kita perhatikan digunakan dalam Sprachspiel Permainan Bahasa (SS-PB) yang mana.
Dalam “Sprachspiel" Terpelajar Internasional.
Sekarang kita berwacana dalarn SS-PB bahasa terpelajar umum yang berlaku di seluruh dunia, khususnya di kalangan Generasi 1928, para perintis kemerdekaan bangsa kita yang intelektual itu. Kini artinya: melawan Establisment mana? Tentu saja sistem kapitalis kolonial imperial feodal kaya kuasa Hindia Belanda yang sudah kokoh mapan seperti pohon beringin atau karet tua. Dalam SS-PB perjuangan: penjajah asing conquistador dan pribumi komprador, feodalis, monarkis, borjuis, pendek kata, para tuan-puan besar konservatif reaksioner mapan yang menghisap kaum buruh dan merugikan petani serta kaum kecil lainnya.
Jadi kaum kiri ialah mereka yang memperjuangkan buruh tani kecil, kawulo alit yang tersisih, tergusur, tercekik. Praktis waktu itu kaum demokrat dan sosialis.
Bagaimana komunis? Komunis ketika Marx masih hidup masih kaum kiri, tetapi cepat sekali sesudah mulai berkuasa di Rusia, Cina, Eropa Timur, apalagi di Asia Tenggara (lihat Stalin, Mao, Pol Pot) berubah menjadi ekstrem kanan. Di Rusia dulu yang berjalan sehari-hari ialah Stalinisme yang sama dengan Tsarisme (Tsaar = maharaja) berabad-abad, di Cina berfungsi sama dengan kekaisaran Tiongkok yang sudah ribuan tahun umurnya, dan di Karnboja tidak beda dari fasisme Hitler yang sukanya membunuh orang yang tidak disukai si kuasa. Jadi alangkah kelirunya kalau kita kategorikan kaum komunis sebagai kiri.
Nazi Hitler, Fasisme Mussolini, Militerisme Jepang Perang Pasifik? Fasisme disukai kaum psikopat gila kekuasaan dan keagungan. Jadi selalu ekstrem kanan dan benci bukan main pada kaum komunis, saingan paling besar nafsu kuasa mereka. Maka kelihatan sekali di Eropa, Asia, Afrika, Amerika Latin, kaum ekstrem kanan punya ciri fasisme yang kejam dan selalu punya dalil: Hukum adalah partai kami. Suatu modifikasi modern sok-republik dari dalil Maharaja Louis XIV dari Perancis sebelum Revolusi: L 'etat c 'est moi (Hukum adalah aku).
Amerika Serikat? Jelas yang berkuasa kaum majikan dan kaum kaya-raya yang amat berkuasa. Dengan sendirinya kanan, tetapi tanpa ekses-ekses fasisme dan kediktatoran. Demokrasinya lumayan. Tidak sempurna karena masih kumat-kumatan Wild West dengan perangai kaum Rambo yang masih kental, ditambah kambuhan ekstrem kanan di bagian Selatan, tetapi kemanusiaan dan rule of the game dilaksanakan dalam tata-hukum yang baik. Mungkin dapat diformulasi dalam lingkungan SS-PB tadi: amat kanan tanpa menjadi kanan sungguh.
Eropa Barat terang kanan tetapi lebih kiri daripada USA. Yang kekiri-kirian ialah Skandinavia, Denmark, Belanda, meskipun kebanyakan monarki konstitusional. Rusia, Polandia, Ceko, Balkan masih dalam gejolak perubahan yang penuh pertanyaan. Amerika Latin seumumnya amat kanan. Afrika, Timur Tengah, dan Asia sulit dipukul rata. Lalu sekarang, pertanyaan penting yang pasti tak sabar Anda nanti, baik dengan tersenyum maupun mengernyit: bagaimana Indonesia?
Para pembaca lebih berhak menilai daripada penulis. Yang jelas, Generasi 1928, para perintis, pemikir, pendiri, perumus Pancasila dan UUD 45 Rl kita, termasuk yang Muslimin saleh (contoh-utamanya Mohammad Hatta), semua kaum kiri. Mungkin para pembaca akan amat terkejut membaca ini, dan pasti ada yang langsung menelpon aparat keamanan atau redaksi media massa yang memuat karangan ini: awas PKI, awas Marxis. Namun sudilah tenang terpelajar, penulis tidak sebodoh atau semurtad itu untuk masuk barisan PKI, meski hanya komunis kesiangan. Tetapi sungguh benar Pak Sjafruddin Prawiranegara almarhum yang amat saya hormati, ketika beliau (ingat, beliau Generasi 28, bukan generasi lain) berkata kepada saya dan tidak pernah akan saya lupakan seumur hidup: yakni bahwa manusia yang beragama dan beriman tidak bisa lain, ia pasti kiri. Saya setuju. Manusia beriman apalagi beragama yang membela penjajah dan majikan pemeras, kaum kolonial imperial feodal komprador fasis yang suka mendakwa, menganiaya, dan menteror,'kan namanya pengkhianat terhadap jiwa serta haluan hidup yang dipilihnya.
Tetapi jangan juga lalu mengatakan babwa para Nabi besar, khususnya Isa dari Nasaret itu berhaluan kiri. Nah, ini latius hos namaya dalam ilmu logika, melampaui premis - premis logis yang tersedia. Seperti bila orang berkata: Si A suka jas berwarna merah. Jadi si A komunis. lni kesimpulan tidak cerdas. Latius (baca, lacius) hos. Lengkapnya: Latius hos quam premissae conclusio non vult (Kesimpulan tidak mau lebih luas dari premis-premis).
Di SS-PB Republik Indonesia Asli
Nah, sekarang kita paham dan sadar, mengapa Pancasila, RI 17 Agustus 1945 yang dibuahkan Generasi 1928 itu sungguh berjiwa kiri. Jikalau Anda dengan marah tidak dapat menerima rumusan yang memang (sekarang, dulu tidak) menggoncangkan jiwa itu, bolehlah; kita katakan lebih moderat: tidak berjiwa kiri tetapi amat sangat jauh sekali dari kanan. Maka dalam SS-PB yang tetap sama tadi itu, kaum kiri amat terhormat dan kaum republikan RI 17 Agustus 1945 selayaknya bangga dan bahagia bila dituding sebagai kiri. (Ingat: komunis itu ekstrem kanan). Paling tidak saya sebagai pembela RI Proklamasi Soekarno-Hatta yang jelek-je1ek pernah menjadi prajurit kroco dari kroco dalam Divisi III Batalyon X Kompi Zeni 1945-1946, apalagi sekarang sebagai rohaniwan yang masih tetap juga kroco dari kroco, akan frustrasi setengah mati merasa hidup gagal bila disebut orang berhaluan kanan.
Tetapi jika kita masuk dalam Sprachspiel yang lain, atau seandainya Republik Indonesia itu sudah menjadi lebih dari yang diproklamasikan pada tanggal tersebut, nah kalau begitu memang selayaknya Anda bingung, takut bila didaftar sebagai kaum kiri atau kekiri-kirian. Namun lepas dari itu semua, agar esei ini tidak terlalu seram dan menggetarkan, mungkin kita dapat menenangkan hati, menghibur diri dengan kesadaran ini: terserah tidak ambil pusing Sprachspiel apa pun yang sedang dimainkan, kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Arif, bahwa dalam diri kita semua (kecuali yang abnormal), perut terletak di sebelah kanan, tetapi jantung di sebelah kiri. Saya kira tepat sekali.
YB Mangunwijaya
Sumber: Kompas, 14 September 1996
Kata sifat ekstrem kiri kurang-lebih sama dengan pembunuh, perampok, dan segala yang dari neraka. Ekstrem kanan kira-kira sama juga artinya. Bedanya: ekstrem kiri itu ateis, sedangkan ekstrem kanan 200 persen anti ateis, sehingga anti x anti-ateis = ateis = iblis juga. Ekstrem tengah artinya bukanlah bukan ekstrem kiri dan bukan juga ekstrem kanan, itu netral istilahnya. Tetapi: ya ekstrem kiri ya ekstrem kanan, sehingga tidak mungkin. Alias dilarang.
Para kaum terpelajar (yakni para pembaca artikel ini) diharapkan tidak usah geleng - geleng kepala atau bingung bila mendengar istilah-istilah kiri, kanan, tengah, karena bahasa itu memang hidup dinamis. Menurut sang filsuf yang tergolong paling cerdas di abad ke-20, yakni Ludwig Wittgenstein: Dalam berkomunikasi dengan bahasa, kata-kata tidak pernah punya arti baku apalagi kaku. Misalnya jika seorang psikiater berkata: chauvinistic pig Si Anu sadis. Dan seorang anak SD kelas 3 jengkel menangis: Ibu guru saya sadis. Maka kata sadis dalam dua pemakaian itu jelas tidak sama artinya. Demikian juga jika seorang jenderal menuding : komunisme! Dan seorang profesor sosiologi atau filsafat sosial sedang berkuliah tentang komunisme, maka dua kata atau filsafat sosial sedang berkuliah tentang komunisme, maka dua kata yang sama bunyinya itu tidak sama artinya. Wittgenstein si cendekiawan dari Wiena yang akhirnya mengajar di Inggris tadi menerangkannya begini:
Peringatan Ludwig Wittgenstein
Manusia dan komunitas manusia selalu berbahasa dalam suatu Sprachspiel,(Sprache=bahasa, Spiel=permainan) permainan bahasa (SS-PB) tertentu. Semua kata mendapat artinya di dalarn pemakaiannya. Ibaratnya: bola tenis di lapangan tenis Yayuk Basuki punya fungsi serta arti lain dari bola tenis yang di halaman desa hiruk pikuk ditendang-tendang oleh 17 anak yang bermain sepak bola. Bola dalam permainan bola sepak dalarn arti soccer (yakni bola sepak yang populer di Indonesia) yang oper-operan elegan, tidak boleh disentuh tangan. Bertolak-belakang dengan permainan yang namanya football (di Indonesia belum ada) yang justru diperebutkan dengan tangan dalarn gulung-gemulung keroyokan kasar.
Bunyi padu dalam bahasa Jawa artinya bertengkar mulut. Dalam bahasa Indonesia justru positif: bersatu-padu rukun banget. Sudah ribuan tahun, demikian peringatan si Wittgenstein yang cerdas itu, manusia saling bertengkar dan pbrperang tentang katakata (bukan realitas) dalam 1001 sengketa teori filsafat dan politik, tanpa sadar bahwa ada Sprachspiel atau Permainan Kata yang amat berperan dan harus amat diperhatikan.
Seorang warga desa dalam rapat kelurahan berapi-api mendesak: "Pak Lurah harap mengabulkan ambisi kami, membangun WC umum." Yang dimaksud ambisi: usulan. Gadis pabrik pun sudah berkata: "Nik, jangan mau dilamar dia, paradigmanya lain. Petani Gunung Kidul: "Ah Romo, jangan percaya. ltu kan cuma analisis." Yang dimaksud isyu tanpa dasar. Last not least, setiap orang tahu perbedaan arti berdamai di setopan merah kuning hijau dan dalarn perundingan Fidel Ramos - Nur Misuari. Oleh karena itu kata-kata komunis, kiri, kanan, tengah, pembangunan, persatuan, demokrasi, subversif, sosialis, kapitalis, marxis, bahkan Pancasila, UUD 45 dst. harus sungguh kita perhatikan digunakan dalam Sprachspiel Permainan Bahasa (SS-PB) yang mana.
Dalam “Sprachspiel" Terpelajar Internasional.
Sekarang kita berwacana dalarn SS-PB bahasa terpelajar umum yang berlaku di seluruh dunia, khususnya di kalangan Generasi 1928, para perintis kemerdekaan bangsa kita yang intelektual itu. Kini artinya: melawan Establisment mana? Tentu saja sistem kapitalis kolonial imperial feodal kaya kuasa Hindia Belanda yang sudah kokoh mapan seperti pohon beringin atau karet tua. Dalam SS-PB perjuangan: penjajah asing conquistador dan pribumi komprador, feodalis, monarkis, borjuis, pendek kata, para tuan-puan besar konservatif reaksioner mapan yang menghisap kaum buruh dan merugikan petani serta kaum kecil lainnya.
Jadi kaum kiri ialah mereka yang memperjuangkan buruh tani kecil, kawulo alit yang tersisih, tergusur, tercekik. Praktis waktu itu kaum demokrat dan sosialis.
Bagaimana komunis? Komunis ketika Marx masih hidup masih kaum kiri, tetapi cepat sekali sesudah mulai berkuasa di Rusia, Cina, Eropa Timur, apalagi di Asia Tenggara (lihat Stalin, Mao, Pol Pot) berubah menjadi ekstrem kanan. Di Rusia dulu yang berjalan sehari-hari ialah Stalinisme yang sama dengan Tsarisme (Tsaar = maharaja) berabad-abad, di Cina berfungsi sama dengan kekaisaran Tiongkok yang sudah ribuan tahun umurnya, dan di Karnboja tidak beda dari fasisme Hitler yang sukanya membunuh orang yang tidak disukai si kuasa. Jadi alangkah kelirunya kalau kita kategorikan kaum komunis sebagai kiri.
Nazi Hitler, Fasisme Mussolini, Militerisme Jepang Perang Pasifik? Fasisme disukai kaum psikopat gila kekuasaan dan keagungan. Jadi selalu ekstrem kanan dan benci bukan main pada kaum komunis, saingan paling besar nafsu kuasa mereka. Maka kelihatan sekali di Eropa, Asia, Afrika, Amerika Latin, kaum ekstrem kanan punya ciri fasisme yang kejam dan selalu punya dalil: Hukum adalah partai kami. Suatu modifikasi modern sok-republik dari dalil Maharaja Louis XIV dari Perancis sebelum Revolusi: L 'etat c 'est moi (Hukum adalah aku).
Amerika Serikat? Jelas yang berkuasa kaum majikan dan kaum kaya-raya yang amat berkuasa. Dengan sendirinya kanan, tetapi tanpa ekses-ekses fasisme dan kediktatoran. Demokrasinya lumayan. Tidak sempurna karena masih kumat-kumatan Wild West dengan perangai kaum Rambo yang masih kental, ditambah kambuhan ekstrem kanan di bagian Selatan, tetapi kemanusiaan dan rule of the game dilaksanakan dalam tata-hukum yang baik. Mungkin dapat diformulasi dalam lingkungan SS-PB tadi: amat kanan tanpa menjadi kanan sungguh.
Eropa Barat terang kanan tetapi lebih kiri daripada USA. Yang kekiri-kirian ialah Skandinavia, Denmark, Belanda, meskipun kebanyakan monarki konstitusional. Rusia, Polandia, Ceko, Balkan masih dalam gejolak perubahan yang penuh pertanyaan. Amerika Latin seumumnya amat kanan. Afrika, Timur Tengah, dan Asia sulit dipukul rata. Lalu sekarang, pertanyaan penting yang pasti tak sabar Anda nanti, baik dengan tersenyum maupun mengernyit: bagaimana Indonesia?
Para pembaca lebih berhak menilai daripada penulis. Yang jelas, Generasi 1928, para perintis, pemikir, pendiri, perumus Pancasila dan UUD 45 Rl kita, termasuk yang Muslimin saleh (contoh-utamanya Mohammad Hatta), semua kaum kiri. Mungkin para pembaca akan amat terkejut membaca ini, dan pasti ada yang langsung menelpon aparat keamanan atau redaksi media massa yang memuat karangan ini: awas PKI, awas Marxis. Namun sudilah tenang terpelajar, penulis tidak sebodoh atau semurtad itu untuk masuk barisan PKI, meski hanya komunis kesiangan. Tetapi sungguh benar Pak Sjafruddin Prawiranegara almarhum yang amat saya hormati, ketika beliau (ingat, beliau Generasi 28, bukan generasi lain) berkata kepada saya dan tidak pernah akan saya lupakan seumur hidup: yakni bahwa manusia yang beragama dan beriman tidak bisa lain, ia pasti kiri. Saya setuju. Manusia beriman apalagi beragama yang membela penjajah dan majikan pemeras, kaum kolonial imperial feodal komprador fasis yang suka mendakwa, menganiaya, dan menteror,'kan namanya pengkhianat terhadap jiwa serta haluan hidup yang dipilihnya.
Tetapi jangan juga lalu mengatakan babwa para Nabi besar, khususnya Isa dari Nasaret itu berhaluan kiri. Nah, ini latius hos namaya dalam ilmu logika, melampaui premis - premis logis yang tersedia. Seperti bila orang berkata: Si A suka jas berwarna merah. Jadi si A komunis. lni kesimpulan tidak cerdas. Latius (baca, lacius) hos. Lengkapnya: Latius hos quam premissae conclusio non vult (Kesimpulan tidak mau lebih luas dari premis-premis).
Di SS-PB Republik Indonesia Asli
Nah, sekarang kita paham dan sadar, mengapa Pancasila, RI 17 Agustus 1945 yang dibuahkan Generasi 1928 itu sungguh berjiwa kiri. Jikalau Anda dengan marah tidak dapat menerima rumusan yang memang (sekarang, dulu tidak) menggoncangkan jiwa itu, bolehlah; kita katakan lebih moderat: tidak berjiwa kiri tetapi amat sangat jauh sekali dari kanan. Maka dalam SS-PB yang tetap sama tadi itu, kaum kiri amat terhormat dan kaum republikan RI 17 Agustus 1945 selayaknya bangga dan bahagia bila dituding sebagai kiri. (Ingat: komunis itu ekstrem kanan). Paling tidak saya sebagai pembela RI Proklamasi Soekarno-Hatta yang jelek-je1ek pernah menjadi prajurit kroco dari kroco dalam Divisi III Batalyon X Kompi Zeni 1945-1946, apalagi sekarang sebagai rohaniwan yang masih tetap juga kroco dari kroco, akan frustrasi setengah mati merasa hidup gagal bila disebut orang berhaluan kanan.
Tetapi jika kita masuk dalam Sprachspiel yang lain, atau seandainya Republik Indonesia itu sudah menjadi lebih dari yang diproklamasikan pada tanggal tersebut, nah kalau begitu memang selayaknya Anda bingung, takut bila didaftar sebagai kaum kiri atau kekiri-kirian. Namun lepas dari itu semua, agar esei ini tidak terlalu seram dan menggetarkan, mungkin kita dapat menenangkan hati, menghibur diri dengan kesadaran ini: terserah tidak ambil pusing Sprachspiel apa pun yang sedang dimainkan, kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Arif, bahwa dalam diri kita semua (kecuali yang abnormal), perut terletak di sebelah kanan, tetapi jantung di sebelah kiri. Saya kira tepat sekali.
YB Mangunwijaya
Sumber: Kompas, 14 September 1996
0 comments:
Posting Komentar