Open Source |
Surat edaran itu terkesan berisi ultimatum. "Paling lambat 31 September 2010, instansi saudara segera melapor kemajuan penghapusan perangkat lunak ilegal." Surat yang ditandatangani Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi E.E. Mangindaan ini ditujukan ke semua pemimpin instansi pemerintahan, mulai menteri, Panglima TNI, Kepala Polri, gubernur, bupati, wali kota, hingga direktur badan usaha milik negara. "Kami desak agar instansi pemerintah menggunakan peranti lunak legal atau terbuka," kata Asisten Deputi Pelayanan Publik Kementerian PAN Hendruman Panjait an, Rabu pekan lalu.
Kantor pemerintah hari-hari ini memang mendapat sorotan dalam urus an pemakaian sistem operasi terbuka (open source). Sejak deklarasi program nasional "Indonesia Go Open Source" pada 30 Juni 2004, pemanfaatan perangkat lunak legal atau terbuka oleh aparat pemerintah dinilai lamban. Lihat saja survei Kementerian Riset dan Teknologi pada 2009. Baru 20 persen dari 490-an pemerintah daerah yang beralih ke open source. Padahal tenggat migrasi peranti lunak terbuka adalah 2011.
Beberapa instansi yang telah beralih ke sumber terbuka antara lain Jembrana (Bali), Sragen (Jawa Tengah), dan Aceh (NAD). Mereka telah menunjukkan perkembangan migrasi open source yang menggembirakan. Ketiga kabupaten ini dinobatkan sebagai daerah terbaik dalam Indonesia Open Source Award (IOSA) 2010 pada 28 Juli lalu. IOSA adalah penghargaan kepada instansi pemerintah, tingkat pusat, provinsi, ataupun kabupaten/kota, yang telah memulai pelaksana an proses migrasi dan implementasi peranti lunak open source di instansi masing-masing.
Salah satunya keberhasilan Pemerintah Kabupaten Jembrana, Bali, dalam mengembangkan jaringan Internet dengan peranti lunak open source hingga pelosok desa. Dengan itu, penerapan sistem e-voting di Jembrana memungkinkan pemilihan kepala lingkungan dilakukan secara daring (online). Penduduk tidak lagi mencoblos dengan paku atau mencontreng tanda gambar calonnya. Cukup masuk bilik suara, pemilih tinggal memencet layar komputer untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Waktu yang dibutuhkan pun relatif singkat. Rekapitulasi perolehan suara selesai 20 menit setelah pemilih terakhir keluar dari bilik suara.
Nah, inovasi-inovasi inilah yang dikehendaki dalam pengembangan aplikasi bersumber terbuka. Kemal Trihatman, Asisten Deputi Urusan Pengembang an dan Pemanfaatan Teknologi Informasi Kementerian Riset dan Teknologi mengatakan penggunaan peranti lunak terbuka di instansi pemerintah bisa menghemat biaya hingga 80 persen. "Aman pula," katanya.
Pengalaman migrasi dari penggunaan peranti lunak proprietary (sumber kode tertutup) ke open source di Kementerian Riset dan Teknologi pada 2006 mencatat biaya pengadaan peranti lunak untuk 200 pegawai mencapai Rp 1 miliar. Setelah menggunakan open source, anggaran bisa ditekan hingga Rp 200 juta. Jika dilakukan masif di semua instansi pemerintah, biaya yang dihemat bisa mencapai Rp 4,3 triliun. Kemal menambahkan, pemerintah terus mendorong agar peranti lunak open source bisa digunakan di semua instansi pemerintah. Adapun untuk masyarakat umum, pemerintah tetap netral. "Boleh menggunakan proprietary asal legal," katanya.
Masih ada waktu setahun sebelum 2011. Surat edaran Kementerian PAN bertanggal 9 Juli 2010 yang berbau ultimatum itu bukan yang pertama. Sebelumnya ada surat edaran Menteri PAN (30 Maret 2009) dan surat edaran Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bedanya, surat-surat ini tidak mencantumkan tenggat penyampaian laporan kemajuan penggunaan peranti lunak legal atau terbuka.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengakui ada kendala dalam migrasi ke open source. "Harus ada kemauan kuat," ujar Direktur Jenderal Aplikasi dan Telematika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ashwin Sasongko. Sosialisasi dan pelatihan sumber daya manusia untuk migrasi ke open source terus dilakukan. Yang jelas, kata Ashwin, pemerintah telah mewajibkan penggunaan peranti lunak legal tanpa perlu bergantung pada vendor tertentu.
Pemerhati teknologi informasi Onno W. Purbo pernah berkata keberhasil an penerapan e-government dan open source harus didukung aturan hukum yang jelas dan tegas. "Kalau cuma surat edaran, tidak bakal kuat," ujarnya. Selama belum ada kemauan yang kuat, menurut Onno, "Tidak usah berharap banyaklah."
Kantor pemerintah hari-hari ini memang mendapat sorotan dalam urus an pemakaian sistem operasi terbuka (open source). Sejak deklarasi program nasional "Indonesia Go Open Source" pada 30 Juni 2004, pemanfaatan perangkat lunak legal atau terbuka oleh aparat pemerintah dinilai lamban. Lihat saja survei Kementerian Riset dan Teknologi pada 2009. Baru 20 persen dari 490-an pemerintah daerah yang beralih ke open source. Padahal tenggat migrasi peranti lunak terbuka adalah 2011.
Beberapa instansi yang telah beralih ke sumber terbuka antara lain Jembrana (Bali), Sragen (Jawa Tengah), dan Aceh (NAD). Mereka telah menunjukkan perkembangan migrasi open source yang menggembirakan. Ketiga kabupaten ini dinobatkan sebagai daerah terbaik dalam Indonesia Open Source Award (IOSA) 2010 pada 28 Juli lalu. IOSA adalah penghargaan kepada instansi pemerintah, tingkat pusat, provinsi, ataupun kabupaten/kota, yang telah memulai pelaksana an proses migrasi dan implementasi peranti lunak open source di instansi masing-masing.
Salah satunya keberhasilan Pemerintah Kabupaten Jembrana, Bali, dalam mengembangkan jaringan Internet dengan peranti lunak open source hingga pelosok desa. Dengan itu, penerapan sistem e-voting di Jembrana memungkinkan pemilihan kepala lingkungan dilakukan secara daring (online). Penduduk tidak lagi mencoblos dengan paku atau mencontreng tanda gambar calonnya. Cukup masuk bilik suara, pemilih tinggal memencet layar komputer untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Waktu yang dibutuhkan pun relatif singkat. Rekapitulasi perolehan suara selesai 20 menit setelah pemilih terakhir keluar dari bilik suara.
Nah, inovasi-inovasi inilah yang dikehendaki dalam pengembangan aplikasi bersumber terbuka. Kemal Trihatman, Asisten Deputi Urusan Pengembang an dan Pemanfaatan Teknologi Informasi Kementerian Riset dan Teknologi mengatakan penggunaan peranti lunak terbuka di instansi pemerintah bisa menghemat biaya hingga 80 persen. "Aman pula," katanya.
Pengalaman migrasi dari penggunaan peranti lunak proprietary (sumber kode tertutup) ke open source di Kementerian Riset dan Teknologi pada 2006 mencatat biaya pengadaan peranti lunak untuk 200 pegawai mencapai Rp 1 miliar. Setelah menggunakan open source, anggaran bisa ditekan hingga Rp 200 juta. Jika dilakukan masif di semua instansi pemerintah, biaya yang dihemat bisa mencapai Rp 4,3 triliun. Kemal menambahkan, pemerintah terus mendorong agar peranti lunak open source bisa digunakan di semua instansi pemerintah. Adapun untuk masyarakat umum, pemerintah tetap netral. "Boleh menggunakan proprietary asal legal," katanya.
Masih ada waktu setahun sebelum 2011. Surat edaran Kementerian PAN bertanggal 9 Juli 2010 yang berbau ultimatum itu bukan yang pertama. Sebelumnya ada surat edaran Menteri PAN (30 Maret 2009) dan surat edaran Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bedanya, surat-surat ini tidak mencantumkan tenggat penyampaian laporan kemajuan penggunaan peranti lunak legal atau terbuka.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengakui ada kendala dalam migrasi ke open source. "Harus ada kemauan kuat," ujar Direktur Jenderal Aplikasi dan Telematika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ashwin Sasongko. Sosialisasi dan pelatihan sumber daya manusia untuk migrasi ke open source terus dilakukan. Yang jelas, kata Ashwin, pemerintah telah mewajibkan penggunaan peranti lunak legal tanpa perlu bergantung pada vendor tertentu.
Pemerhati teknologi informasi Onno W. Purbo pernah berkata keberhasil an penerapan e-government dan open source harus didukung aturan hukum yang jelas dan tegas. "Kalau cuma surat edaran, tidak bakal kuat," ujarnya. Selama belum ada kemauan yang kuat, menurut Onno, "Tidak usah berharap banyaklah."
Rudy Prasetyo - TEMPO (http://www.tempointeraktif.com)
0 comments:
Posting Komentar