Selalu menjadi keinginan para founding-fathers negeri kita untuk mendirikan negara berdasarkan hukum, atau dalam kata lain adalah negara yang demokratis.
Mereka punya sejumlah alasan atas sikap tersebut.
Pengalaman pribadi para founding fathers tersebut dengan pemerintahan kolonial Belanda, Jepang dan juga kerajaan-kerajaan lokal, telah mengajarkan mereka untuk tidak pernah mengulang hal-hal yang buruk dari masa lalu. Cina pada saat Kuomintang berkuasa, bukanlah contoh tentang kehidupan yang demokratis. Demikian juga yang terjadi pada negara Britania Raya, di mana kelompok oposisi percaya bahwa mereka harus selalu mengkritik dengan sengit partai yang berkuasa, tepat atau tidak sasarannya, namun tetap loyal kepada negara.
Permodelan ala Britania Raya telah dijalankan oleh para founding fathers sejak masa revolusi hingga pertengahan tahun 1950-an. Sejak dari masa itu, demokrasi terpimpin diperkenalkan di sini, yang diikuti dengan model pemerintahan miiliter dengan kesatuan komando di bawah Demokrasi Pancasila. Pada masa sekarang, kaum muda tak lagi percaya pada ketulusan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan sifat represif pemerintah untuk memajukan demokratisasi. Pola mana yang sesungguhnya mereka pilih masih belum juga dapat ditemukan. Dari lubuk hati mereka yang terdalam mereka tahu bahwa dalam negeri yang majemuk seperti Indonesia, dengan jumlah penduduk mencapai 200 juta orang, model asing yang akan diterapkan di sini bisa mengundang bahaya.
Pada satu sisi mereka sudah tidak tahan dengan rekayasa sosial dan politik selama 30 tahun terakhir ini. Generasi baru sekarang menghirup udara pandangan hidup Amerika, sadar atau tidak, meniru pola dan trend pembebasan seperti yang terjadi di Barat. Secara tidak langsung kondisi ini diciptakan oleh pemerintah lewat sejumlah bisnis besar ditengah-tengah gaya hidup komunitas yang diwariskan dari metode penguasaan oleh penjajahan tentara Jepang. Anak muda berharap proses demokratisasi berjalan dengan alami, bahkan dapat juga diperdebatkan. Tetapi akan banyak masalah yang dihadapi jika demokrasi diterapkan di Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 200 juta, yang tersebar di ribuan pulau dan terpisah oleh samudra luas akan selalu menjadi alasan kuat untuk melakukan tindakan tangan besi. Negara akan selalu berkata bahwa mereka membutuhkan kondisi sine qua non untuk menjamin keutuhan negara.
Tindakan represi selalu merupakan godaan untuk dipraktekkan. Sejumlah hal yang dikemukakan belakangan ini misalnya tentang keselamatan negara, walaupun tersembunyi di balik UU Darurat yang ada, akan dilaksanakan terus menerus dengan alasan mengamankan negara dari musuh-musuh yang tak kelihatan.
Negara-kota seperti di jaman Yunani Kuno yang memunculkan ide besar tentang demokrasi, ataupun negara kecil lain seperti Swiss, Denmark, Norwegia, Belanda dan Belgia, dapat dengan mudah mengadopsi sistem demokrasi, tapi negara yang berpenduduk 200 juta apakah juga bisa? Negara India juga tak pernah disebut sebagai contoh yang baik untuk Indonesia. Di samping itu Malaysia dan Singapura, juga meragukan jika ingin disebut menganut sistem demokrasi sejati. Ternyata ada banyak variabel yang harus dipertimbangkan, khususnya yang menyangkut kondisi apakah suatu negara sudah demokratis atau belum. Tetapi satu hal sudah jelas. Demokrasi membutuhkan masyarakat yang berpikir rasional. Bangsa yang demokratis adalah bangsa yang terdidik. Kebodohan, acuh tak acuh, atau manusia yang tak berpendidikan tidak akan pernah menghasilkan manusia yang sungguh sungguh demokratis. Manusia yang beremosi tinggi amat mudah menghasilkan suasana chaos.
Sistem pendidikan yang demokratis akan memberi kesempatan pada para siswa untuk menggali ide baru, menjadi kreatif, kritis dan juga diberi kesempatan untuk menyampaikan pikiran dengan bebas. Kondisi ini akan membantu perkembangan pribadi siswa untuk menghargai fair-play. Pendidikan juga didisain untuk mengajarkan siswa berpikir cerdas, dan tidak melihat dunia dengan pandangan yang naif, dengan hanya satu macam solusi untuk tiap persoalan. Demokrasi juga berarti emansipasi yang berawal sejak masa kecil, yang memberi peluang berkembangnya bakat-bakat pribadi. Pendidikan macam ini juga menghargai masing-masing individu dengan segala macam kepribadiannya.
Ada hal yang aneh sebenarnya di sini, kemajemukan Indonesia yang sering dikhawatirkan akan menuju separatisme, dinilai juga sebagai asset berharga untuk pengembangan pluralitas. Dari perbedaan-perbedaan ini Indonesia seharusnya bisa menjalani proses menuju bangsa yang dewasa. Indonesia harus memberikan ruang pada kreativitas, mendorong pemikiran baru, dan penyelesaian altematif, ketimbang mempertahankan mental kebodohan yang seragam, yang akan membawa bangsa jadi bermental budak. Dalam situasi dunia yang penuh kompetisi, manusia yang tidak ingin kreatif dan inovatif akan memundurkan jarum jam pembangunan. Di sinilah pertanyaannya: Apakah kita sudah memiliki sistem pendidikan seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 45? Bila sudah, maka kita bisa berharap akan masa depan yang cerah. Bila belum, maka kita tak akan pernah menjadi negara yang demokratis dan penduduk negeri ini akan terus dalam situasi pendidikan yang miskin, tidak dewasa dan tertinggal dengan perkembangan negara-negara lainnya. Situasi ini harusnya mendapat perhatian serius dan menjadikan 200 juta penduduk mengambil sesuatu tindakan sebelum mereka gila dengan situasi sekarang.
YB Mangunwijaya
Sumber: Jakarta Post, 5 Maret 1997 (Tulisan asli dalam bahasa Inggris)
terimakasih kepada Roland Pasaribu
0 comments:
Posting Komentar